Senin, 29 Desember 2014

Pro Kontra Low Cost Green Car

Nama    :  Nur Aini Wahidah
Kelas     :  1EB30
NPM      :  28214131

PENDAHULUAN

Latar Belakang

      Belakangan ini negeri kita tercinta baru saja diramaikan dengan pemberitaan di berbagai media, baik cetak maupun elektronik yang menyampaikan pesan-pesan yang berhubungan dengan kebijakkan pemerintah di dalam menyetujui beredarnya mobil-mobil “murah” di Indonesia. Kebijakkan ini tentunya mengundang pro dan kontra yang sangat luar biasa di masyarakat kita. 

       Dalam kebijakan industri nasional, industri alat transportasi (otomotif) merupakan salah satu sub sektor yang diprioritaskan untuk dikembangkan, sehingga diperlukan adanya kebijakan yang kondusif.Dalam kaitan tersebut, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) telah menerbitkan kebijakan mengenai mobil murah dan ramah lingkungan atau low cost green car (LCGC) yang tertuang dalam Peraturan Menteri Perindustrian No. 33/M-IND/PER/7/2013 tentang Pengembangan Produksi Kendaraan Bermotor Roda Empat yang Hemat Energi dan Harga Terjangkau.
       Saat kebijakan produksi LCGC diterapkan tahun lalu, banyak kepala daerah menolak kebijakan pemerintah pusat termasuk Presiden Joko Widodo yang masih menjabat Gubernur DKI Jakarta saat itu. Kebijakan produksi LCGC dinilai menghambat program pemerintah daerah yang ingin mengurai kemacetan dan memperbaiki kualitas udara. Namun, market share mobil LCGC sampai saat ini sudah mencapai 15 persen dari seluruh total penjualan semua tipe mobil.

PEMBAHASAN

     Perarturan menperin tersebut merupakan turunan dari program mobil emisi karbon rendah atau low emission carbon (LEC) yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2013 tentang Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Berupa Kendaraan Bermotor yang Dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Permenperin ini ditetapkan Menteri Perindustrian Mohamad S Hidayat pada 1 Juli 2013 dan telah diundangkan dalam Berita Negara Republik Indonesia No. 895 pada 5 Juli 2013 oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Amir Syamsudin.

     Menperin mengatakan, penerbitan Permenperin No.33/2013 dimaksudkan untuk terus mendorong dan mengembangkan kemandirian industri otomotif nasional, khususnya industri komponen kendaraan bermotor roda empat agar mampu menciptakan motor penggerak, transmisi dan axle yang berdaya saing seiring dengan peningkatan permintaan kendaraan bermotor yang hemat energi dan harga terjangkau.“Pengembangan produksi mobil LCGC merupakan Program Pengembangan Produksi Kendaraan Bermotor dengan pemberian fasilitas berupa keringanan Pajak Pertambahan Nilai atas Barang Mewah (PPnBM)”.

     Dalam Permenperin ini disebutkan, industri otomotif yang ingin memproduksi mobil LCGC harus memenuhi berbagai ketentuan, diantaranya :
  1. Ketentuan konsumsi bahan bakar kendaraan. “Ketentuannya ditetapkan untuk motor bakar cetus api kapasitas isi silinder 980-1200 cc dengan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) paling sedikit 20 km/liter atau bahan bakar lain yang setara, dan untuk motor bakar nyala kompresi (diesel) kapasitas isi silinder sampai dengan 1500 cc dengan konsumsi BBM paling sedikit 20 km/liter atau bahan bakar lain yang setara”. 
  2. Ketentuan jenis BBM, juga harus memenuhi spesifikasi minimal Research Octane Number (RON) 92 untuk motor bakar cetus api dan Cetane Number(CN) 51 untuk diesel.
  3. Ketentuan teknis lainnya berupa radius putar (turning radius) dan jarak terendah dari permukaan tanah (ground clearance) diatur dalam Petunjuk Teknis Pelaksanaan Permenperin tersebut. 
  4. Selain itu, juga diatur ketentuan penggunaan tambahan merek, model, dan logo yang mencerminkan Indonesia, serta mengatur besaran harga jual mobil LCGC paling tinggi Rp. 95 juta berdasarkan lokasi kantor pusat Agen Pemegang Merek.
     Mengenai besaran harga, dalam regulasi ini disebutkan, dapat disesuaikan apabila terjadi perubahan-perubahan pada kondisi atau indikator ekonomi yang meliputi besaran inflasi, kurs nilai tukar Rupiah dan/atau harga bahan baku. Termasuk juga dalam penggunaan transmisi otomatis dan/atau teknologi pengaman penumpang. “Untuk penyesuaian harga berdasarkan penggunaan teknologi transmisi otomatis maksimum sebesar 15%, sedangkan untuk penggunaan teknologi pengaman penumpang maksimum sebesar 10%”.

        Sementara itu, disebutkan pula empat syarat dalam surat permohonan bagi Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM) yang ingin memperoleh fasilitas perpajakan atau insentif program LCGC :
  1. Setiap ATPM wajib memberikan hasil uji konsumsi bahan bakar, uji ketentuan teknis, bukti visual penggunaan tambahan merek Indonesia, termasuk model dan logo yang mencerminkan Indonesia. 
  2. Setiap perusahaan wajib memberikan data dan bukti realisasi investasi, manufaktur motor penggerak (mesin), transmisi, dan axle, termasuk rencana menggunakan komponen lain dari pasokan lokal. 
  3. Pemberian surat pernyataan bermaterai berisi harga jual produk LCGC ke konsumen sesuai ketentuan yang berlaku. 
  4. Seluruh ketentuan dan persyaratan yang ditetapkan sebelumnya wajib lolos verifikasi oleh lembaga independen Surveyor. Tanpa memenuhi keempat peryaratan tersebut, setiap ATPM tidak bisa mendapatkan potongan PPnBM. Menperin akan menerbitkan surat penetapan penerima insentif program LCGC paling lambat 12 hari kerja sejak diterimanya surat permohonan secara lengkap dan benar.

Hal ini membuat pro dan kontra dikalangan masyakat. Di sisi yang pro terhadap kebijakkan ini, mereka melihat bahwa mobil LCGC layak untuk diproduksi dan dijual di Indonesia karena adanya beberapa alasan yang cukup kuat. Oleh karena itu, saya mencoba merangkum beberapa alasan yang mendukung kebijakkan ini. Berikut diantaranya : 
  1. Masyarakat Indonesia yang sudah merdeka 68 tahun sudah selayaknya untuk dapat membeli mobil, yang dimaksud disini adalah masyarakat menengah bawah yang selama ini tidak mampu membeli mobil. 
  2. Mobil ini hemat bahan bakar dan di wacana-kan tidak akan menggunakan bahan bakar bersubsidi. 
  3. Dalam menghadapi perdagangan bebas ASEAN yang akan datang (di 2015), lebih baik memproduksi mobil di dalam negeri yang komponennya sebagian besar berasal dari dalam negeri serta membuka lapangan pekerjaan yang cukup besar bagi masyarakat Indonesia dibandingkan dengan produsen luar yang masuk ke pasar di Indonesia dan menawarkan mobil-mobil murah CBU. 
  4. Mobil murah menggunakan komponen lokal kurang lebih 80% dan sisanya berasal dari asing. Itu artinya memang mobil ini hampir secara keseluruhan dapat dikatakan “made in Indonesia”. Lain halnya dengan mobil nasional yang “katanya” menggunakan komponen yang berasal dari negara lain. Komponennya bukanlah hasil produksi dalam negeri, walaupun yang mengerjakannya adalah anak dalam negeri. 
Begitulah kira-kira apa yang menjadi argumen daripada pihak-pihak yang pro terhadap kebijakkan tersebut. Namun disisi yang berseberangan ini, pihak-pihak yang kontra terhadap kebijakkan tersebut juga memiliki alasan-alasan yang tidak kalah kuatnya dengan pihak yang pro terhadap kebijakkan. Berikut diantaranya :
  1. Mobil murah akan menyebabkan kemacetan yang semakin parah di beberapa kota-kota besar di Indonesia. Khususnya bagi kawasan JABODETABEK yang cenderung di dominasi oleh kendaraan pribadi. Bahkan untuk DKI Jakarta sendiri, kebijakkan ini sudah berlawanan arah dengan kebijakkan daripada Pak Jokowi (Gubernur DKI Jakarta) di dalam proses menanggulangi kemacetan yang ada di Ibukota. Bahkan beliau sempat mengirimkan pesan kepada bapak Wapres kita mengenai permasalahan ini. 
  2. Mobil murah bukanlah solusi bagi transportasi di Indonesia, yang seharusnya dikembangkan adalah moda-moda transportasi yang mendukung seperti MRT,dan sebagainya seperti yang digunakan di negara-negara maju. 
  3. Walaupun komponennya sekitar 80% berasal dari dalam negeri, tetapi produsen yang memproduksi mobil-mobil murah tersebut adalah produsen-produsen dengan brand dari Jepang seperti Daihatsu, Toyota, Honda, Datsun, dan sebagainya. 

Jadi, dari kedua belah pihak sebetulnya memiliki argumen yang sama-sama bisa dibenarkan dan sama-sama kuat. Oleh karena itu permasalahan seperti ini tidak akan ada habisnya bila tidak ada kesepakatan bersama dalam mengatasi hal ini. Karena sudah terlanjur disetujui kebijakkannya dan produksi sudah dimulai, maka pihak-pihak yang kontra dalam hal ini seperti bapak Jokowi (Gubernur DKI Jakarta) rencananya akan menerapkan kebijakkan-kebijakkan baru di Ibukota seperti penerapan plat nomor ganjil genap dan ERP untuk jalan-jalan protokol. Dimana tarif yang dikenakan diperkirakan sekitar 100.000 Rupiah setiap kali lewat. 


PENUTUP
Kesimpulan
        Program pemerintah mengenai mobil murah dan ramah lingkungan atau low cost green car (LCGC) yang tertuang dalam Peraturan Menteri Perindustrian No. 33/M-IND/PER/7/2013 tentang Pengembangan Produksi Kendaraan Bermotor Roda Empat yang Hemat Energi dan Harga Terjangkau sebaiknya dipikirkan baik buruknya untuk perkembangan infrastruktur di Indonesia. Karena permasalahan seperti ini tidak akan ada habisnya bila tidak ada kesepakatan bersama dalam mengatasi hal ini.

Daftar Pustaka

http://jakarta.kompasiana.com/transportasi/2013/09/21/pro-kontra-mobil-murah-lcgc-low-cost-green-car-591852.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar